Mahasiswa bagaimanapun adalah kelompok sosial yang istimewa di tengah masyarakat Indonesia. Mereka dianggap memiliki peranan historis yang signifikan dalam sejarah bangsa ini, terutama sebagai penyambung lidah rakyat yang dipercaya masih begitu jujur, idealis, dan bersih dari tunggangan kepentingan golongan ketimbang para elite politikus yang sudah terlalu sering membohongi masyarakat. Namun, ternyata di tengah golongan masyarakat intelektual ini wacana apatisme terhadap proses politik semacam pemilihan umum yang mengarah pada pilihan menjadi golongan putih justru cukup tinggi.

Ada banyak kredo suci yang begitu melekat sebagai identitas sekaligus menjadi tanggung jawab bagi mahasiswa Indonesia. Dalam istilah agent of change, agent of social control, and iron stock dengan gamblang menunjukkan tugas historis mahasiswa sebagai agen yang mewakili masyarakat untuk mengontrol dan mengawasi berbagai kebijakan pemerintah, pelopor terwujudnya perubahan sosial yang lebih baik, serta sebagai calon penerus generasi kepemimpinan bangsa di masa mendatang. Selain itu Mendiang Soe Hok Gie, tokoh angkatan 1966, pernah menegaskan konsep moral force sebagai batasan perjuangan yang harus dipegang teguh dan mewaspadai agar tak terjebak dalam political force. Maksudnya peranan mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat haruslah sebagai gerakan moral yang bangkit di kala hadirnya momentum ketidakadilan dan kesewenangan penguasa, setelah perubahan dicapai mahasiswa harus kembali ke kampus dan tidak menjadi gerakan politik yang secara langsung ikut ambil bagian kekuasaan, karena gerakan mahasiswa harus murni dan netral terhadap kepentingan politik agar ketajaman nalar kritisnya tetap terjaga.

Mengingat status mahasiswa hanyalah sementara waktu. Namun, mahasiswa harus cerdas memahaminya dalam konteks realitas kekinian, semisal dalam menghadapi momentum pemilu. Nalar kritis dan netralitas tentu bukan berarti mutlak dipahami agar mahasiswa bersikap tak acuh pada semua proses politik, apalagi terlampau pesimistis dan apriori terhadap sistem kekuasaan. Sebagai katalisator dari harapan rakyat, mahasiswa harus memahaminya dengan optimistis, rasional, dan bertanggung jawab atas sikap apa pun yang dipilihnya.

Sikap politik mahasiswa

Sudah tidak dapat kita pungkiri, saat ini idealisme seorang mahasiswa sedang diuji. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 ini seakan-akan menjadi suatu masa yang menjadi kepentingan politik bagi penguasa dan mahasiswa menjadi lumbung suara yang menggiurkan bagi setiap calon legislatif mendatang yang akan maju untuk calon legislatif 2014. Mahasiswa sebagai satu “pilar” penegak demokrasi yang juga bagian dari pemilih dan memiliki nalar intelektual tinggi, justru sangat mudah untuk mempengaruhi masyarakat banyak. Seharusnya mahasiswa dapat memberikan pemahaman demokrasi kepada masyarakat melalui sebuah proses yang dinamakan pemilu. Hal ini dilakukan untuk meningkatkat partisipasi pemilih dan kualitas akan pemilih sendiri ketika menentukan pilihannya. sebab jika kita melihat dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU) tingkat partisipasi pemilih kian menurun sejak dimulainya pemilihan umum pasca reformasi dan diprediksikan partisipasi masyarakat pada Pemilu 2014 sangat rendah, tetapi sayang proses memberikan pemahaman demokrasi ini disalahgunakan oleh mahasiswa di Indonesia, termasuk di Medan.

Bagian dari mahasiswa sendiri merasa miris melihat fenomena yang terjadi selama ini, banyak dari kalangan mahasiswa mudahnya mau menjadi bagian dari penyuksesan kampanye sang calon. Memang pilihan untuk terlibat dalam partai atau menjadi gerakan partisan dari sebuah partai adalah hak preogratif setiap orang termasuk mahasiswa. Namun akan muncul banyak perdebatan ketika kita menilai hal ini, apakah wajar sebagai pribadi kaum intelegensia mau melacurkan nalar intelektaualnya dibawah kemunafikan sang calon?. Melihat ada tiga tipe kelompok mahasiswa yang dapat kita klasifikasikan ketika dekat dengan pemilu. Pertama, ada kelompok mahasiswa yang tahu dirinya digunakan sebagai alat dari sang caleg, artinya mahasiswa tipe ini sebenarnya mengetahui bahwa para calon mau mempengengaruhi mahasiswa untuk dapat memilihnya dan kesempatan tersebut diambil mereka dengan mengharapkan materi atau nantinya muncul kepamoran mahasiswa dihadapan sang calon. Kedua, ada golongan mahasiswa yang memang tidak tahu bahwa kepentingan dirinya sebagai mahasiswa sedang ditunggangi, kelompok ini biasanya ada pada mahasiswa-mahasiswa baru, pola pikir yang belum begitu memahami akan kepentingan penguasa dianggap hal yang wajar dan sepele padahal secara tidak langsung mereka sudah digiring untuk mempercayai hal tersebut. Ketiga, kelompok mahasiswa yang tahu namun pura-pura tidak tahu bahwa dirinya sedang ditunggai. Mahasiswa tipe ini adalah mahasiswa yang tidak memiliki kekuatan untuk mengungkapkan akan kebohongan dibalik semua tingkah laku caleg, mereka tidak berani untuk mengungkapkan kebenaran, hal ini didasari lemahnya pengaruh mahasiswa tersebut atau bahkan muncul rasa segan sebab calon tersebut juga dari kalangan keluarga sang mahasiswa itu sendiri.

Dalam hal ini pernah mengikuti sebuah diskusi publik yang dilakukan oleh beberapa kelompok mahasiswa yang mengundang para politisi ke sebuah kampus, dengan dalih membuka ruang dialog publik antara mahasiswa dan para legislatif. Membuka dialog publik, justru para legislatif yang juga merupakan caleg untuk maju kembali ke pemilu kali ini dapat dengan leluasa mengkampanyekan dirinya di hadapan mahasiswa bahkan parahnya lagi mobil sang calon dengan dibaluti wajah caleg dan partainya juga bisa memasuki wilayah kampus padahal hal ini sangat bertentangan dengan ketentuan UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No.15 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan KPU No.01 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah. Dari kasus ini mahasiswa yang kelompok pertama sebenarnya sudah mengetahui bahwa akan ada kampanye terselubung di dalam dialog ini, namun dia tetap memberikan kesempatan apakah mahasiswa ini mendapatkan imbalan dari sang calon? Hanya kelompok tersebut yang dapat menjawabnya. Yang jelas tindakan yang seperti ini dapat kita katakan sebagai membohong idealismenya demi materi. Kelompok kedua hanya bisa mendengarkan bahwa hal ini baik-baik saja, toh yang didiskusikan seputar daerahnya dan integritas sang calon, yang lain tidak di utarakan pada publik. Sedangkan kelompok ketiga justru hanya diam mendengarkan petuah sang calon tanpa mengkritik, seharusnya sebagai mahasiswa kita harus mengambil sikap akan fenomena ini dan memposisikan diri kita sebagai agen serta agen sosial untuk tidak mudah tergiur akan tawaran meteri, lebih-lebih mengadakan kampanye terselubung dan terlibat dalam politik praktis di kampus.

Mahasiswa yang notabene sebagai agen of control benar- benar harus menjaga idealisnya sebagai mahasiswa. Mengontrol suatu kebijakan elit dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro kepada rakyat. Pesta demokrasi yang sebentar lagi akan dilaksanakan di indoonesia banyak menyedot perhatian mahasiswa sebagai suatu kesempatan emas dalam mendekati para caleg, yang ikut dalam pemilu 2014 ini. Idealisme mahasiswa di pertaruhkan dengan mengikutsertakan dirinya sebagai tim sukses maupun tim relawan caleg tersebut. Ini hal yang sangat memalukan karena mahasiswa sebagai lapisan masyarakat yang harusnya bersikap netral dan harus menempatkan dirinya di luar sistem. Apabila mahasiswa sudah tidak idealis lagi lalu siapa yang harus mampu mengkritisi dan mengkontrol elit dalam menentukan kebijakannya ?

pemilu adalah moment dimana setiap orang dalam mengeruk keuntungan, mulai dari tukang sablon, sampai souvenir, mereka jelas ada sesuatu yang mereka jual demi memenuhi kebutuhan hidup mereka, tetapi apa yang di jual oleh seorang mahasiswa dalam mencari keuntungan dari moment ini, selain idealis dan air liur mereka. Ironisnya yang mereka bela dan adalah caleg yang nanti “katanya” membela rakyat kecil, dan objeknya rakyat kecil. Hal ini seperti sudah menjadi rahasia umum, mahasiswa yang benar- benar idealis dan memegang teguh komitmennya untuk memperjuangkan nasib rakyat kecil sudah jarang, mereka hanya mencari keuntungan semata saja dan mampu mempergunakan kesempatan dengan sebaik- baiknya. Kepada para para mahasiswa harus bersikap objektif dalam menyikapi pemilu 2014 ini, sebab mahasiswa sebagai sasaran empuk caleg dalam membantunya untuk membodohi rakyat.

Sebagai mahasiswa seharusnya kita dapat memposisikan diri kita dalam menghadapi situasi yang seperti ini secara demokrasi dan memberi yang terbaik bagi masyarakat. Pola pikir yang kritis dengan paradigma yang baik harus dikedepankan agar tidak mengarah kepada pragmatis, sebagai benteng pengawal demokrasi kita harus dapat bersikap netral saat ini bukan condong kepada partai-partai atau caleg yang mendekati kita. Sungguh sangat disayangkan bila kita mau melacurkan idealisme hanya dengan mengharapkan matrialiastik yang menggiurkan. Ini adalah penipuan yang sangat amoral bagi identitas mahasiswa dan parahnya lagi jika banyak dari pemimpin mahasiswa yang mau menggadaikan organisasinya untuk mengelabuhi mahasiswa lain yang tidak tahu demi kepentingan materi semata. Beban moral sebagai mahasiswa harus dapat dipikul dengan rasa idealisme murni yang tujuannya adalah memperjuangkan agar rakyat ini sejahtera. Tindakan masuk ke dalam dunia politik praktis tidak perlu dilakukan saat ini, sebab hal itu jika dilakukan sekarang akan memunculkan kekecewaan dari harapan masyarakat sebagai generasi yang senantiasa membela kepentingan rakyat. Sangat disayangkan jika mahasiswa masuk kedalam kelompok-kelompok yang tidak etika, melihat permasalahan politik praktis sudah masuk ke kampus. Alangkah bobroknya negeri kita ini jika kelompok intelektual seperti mahasiswa, mudah tergoda dan tergoyahkan idealismenya dengan iming-iming uang. Jika ‘pelacuran idealisme’ seperti ini kian tak terbendung, bagaimana kelak ketika ia menjadi pemimpin negeri esok hari?

Mahasiswa sebagai kelompok intelektual yang penuh idealisme haruslah memandang momentum Pemilu 2014 sebagai hal penting yang berbeda dari momen sebelumnya. Tahun ini penuh harapan baru, dengan hegemoni penguasa sebelumnya yang terbukti gagal sudah tergusur, dan sosok-sosok pemimpin yang lebih visioner pun kian bermunculan dan patut dipertimbangkan. Setiap mahasiswa Indonesia tentu bebas menentukan pilihan bentuk partisipasi apa yang dianggap paling tepat menyambut momentum Pemilu 2014 ini. Ada banyak peranan teknis yang bisa dilakukan mahasiswa untuk memastikan pemilu berlangsung sesuai harapan, semisal menjadi bagian dari tim pengawas, panitia penyelenggara, kampanye pemilih cerdas, ataupun mendukung kandidat tertentu. Prinsipnya, apa pun sikap politik yang kita ambil haruslah rasional dan dapat dipertanggung jawabkan.

 

Source : https://www.kompasiana.com/www.riskamayasari.com/54f7a286a33311b71f8b45d7/peran-mahasiswa-dalam-pemilu