Menyandang predikat sebagai mahasiswa (kaum intelektual) merupakan sebuah tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial yang besar. Dalam konsep tatanan sosial, mahasiswa tidak hanya sibuk dengan ritual-ritual akademik saja, lebih penting dari itu adalah mahasiswa memiliki pengaruh sosial besar atas keberadaannya ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Seperti dikatakan Kuntowijoyo dalam “Islam; Interpretasi untuk Aksi” bahwa intelektual berada di masyarakat untuk meminjamkan pisau analisisnya, sehingga masyarakat bisa merumuskan sendiri jawaban atas persoalannya. Artinya, keberadaan mahasiswa di tengah-tengah setting sosial masyarakat turut pula membawa pencerahan dan penyadaran yang dapat mengedukasi masyarakat.

Tentunya, untuk dapat mempertajam penglihatan dan merespons kondisi kekinian disekitarnya, kaum intelektual harus sadar akan posisinya sebagai intelektual organik -meminjam istilah Antonio Gramschi- yakni intelektual yang hidup dimasyarakat dan bermasyarakat. Artinya, kaum muda harus terlibat aktif dalam setiap proses dan dinamika yang terjadi di masyarakat. Kondisi ini harus didukung penuh oleh perguruan tinggi sebagai wadah para intelektual yang tercerahkan untuk mempertajam responsibilitas dan daya nalar terhadap isu-isu kontemporer yang sedang berkembang. Sudah tidak mengherankan lagi di zaman sekarang ini Perguruan tinggi yang bersifat industrialis, hanya menghasilkan lulusan-lulusan untuk mengisi keperluan dunia pasar, bukan lagi melahirkan pejuang-pemikir maupun pemikir-pejuang yang tentunya mempunyai moral value yang tinggi. Dari realita ini dapat Kita prediksi ketika mahasiswa lulus hanya ada dua pilihan, yang pertama akan mengurangi angka pengangguran atau justru akan menambah angka pengangguran?.

Krisis identitas yang terjadi di kalangan mahasiswa dipengaruhi oleh dinamika internal mahasiswa, terbelit ritual formal akademik, terbelenggu oleh perbedaan pandangan politik, budaya, dan sosial. Sehingga terjadi desentralisasi ruang gerak mahasiswa dan tumpang tindih akan tanggung jawabnya. Mahasiswa sekarang cenderung menjadi follower, mahasiswa juga cenderung menjadi objek bukan menjadi subjek terhadap arus perubahan dalam tataran global maupun nasional. Mahasiswa sekarang ini lupa akan peran dan fungsinya sebagai agen perubahan, kontrol sosial. Mereka terlena dengan budaya konsumerisme dan pragmatisme yang perlahan menggerogoti nalar kritisnya, karena kritisisme adalah DNAnya mahasiswa.

1. Menghidupkan kembali budaya intelektual

Budaya intelektual merupakan budaya yang dibangun untuk menumbuhkan nalar kritis, responsif, serta solutif terhadap isu-isu kontemporer yang sedang berkembang di masyarakat. Tiga hal yang harus dilakukan oleh kalangan mahasiswa adalah yang pertama budaya membaca, Kita dapat mengetahui minat baca mahasiswa sekarang dengan sangat mudah dan kasat mata, ruang perpus yang menyediakan banyak literasi bacaan pun ramai dikunjungi ketika hanya ada tugas dari dosen, bahkan yang lebih ironis dan memalukan adalah perpus ramai ketika sudah mendekati waaktu pengerjaan skripsi, biasanya ini dialami oleh mahasiswa tingkat akhir. Kedua, budaya diskusi yang semakin sepi ditinggal oleh mahasiswa, forum-forum kecil diskusi di kampus sudah tidak menarik lagi atau mereka sendiri yang sudah tertarik dan terlena dengan gadgetnya masing-masing? Atau mahasiswa sekarang lebih suka gosip dan membual tentang pemerintah tanpa adanya data dan fakta yang valid, karena dalam forum diskusi mahasiswa belajar tentang cara penyampaian fakta dan menampilkan data yang valid. Diskusi merupakan wadah mahasiswa untuk menajamkan nalar kritisnya dan belajar menyampaikan argumennya yang logis dan sistematis. Ketiga, budaya aksi yang kadang dinilai negatif dan tidak ada manfaatnya karena harus panas-panasan turun ke jalan dan berteriak lantang menyampaikan aspirasi rakyat. Sadarlah Kalian wahai mahasiswa yang (katanya) haus akan perubahan dengan berpegang teguh pada prinsip kebenaran!. Mungkin bagi mahasiswa yang sudah enak di zona nyamannya akan berkata demikian, tetapi bagi mereka yang benar-benar mendambakan perubahan, mereka akan turun ke jalan, simpelnya adalah ketika mereka turun ke jalan saja terkadang masih tidak di dengar, apalagi mereka yang hanya bisa berkomentar diwarung-warung kopi sambil makan mendoan, sadarkah suara Kalian akan di dengar?!

Pesatnya kemajuan di bidang teknologi, membuat arus informasi cepat Kita peroleh. Kita semakin dimanjakan dengan akses internet yang mudah dan cepat. Mentalitas mahasiswa sekarang lebihsuka yang instan dan tidak ingin repot, apakah ini dampak dari dimanjakannya mahasiswa dengan pesatnya kemajuan teknologi? Kembali ke pribadi masing-masing mahasiswa, jangan sampai terlena dengan berbagai fasilitas teknologi yang tersedia. Proses yang teliti harus menjadi pedoman utama dalam merespon arus informasi yang begitu deras kita peroleh. Lagi-lagi mahasiswa harus rajin Baca, diskusi dan aksi supaya mental mereka terbentuk dan berdaulat atas dirinya sendiri.

Kemudian yang wajib dikuasai mahasiswa sekarang adalah menulis, ahli bahasa mengatakan menulis adalah mengikat makna. Artinya, dengan menulis kita dapat mengkristalkan apa yang kita baca dan diskusikan.Dengan demikian, informasi yang kita gali dan dapatkan bisa menjadi pemahaman yang sempurna. Selain itu, menulis juga merupakan bukti ‘ketajaman pena’ intelektual. Sebab, dengan menulis kita dapat menyebarkan informasi, ide, dan gagasan kepada khalayak. Hal ini, mengingat budaya dokumentasi merupakan halyang penting dalam dunia intelektual. Bukan hanya sebagai pengikat makna, melainkan sebagai rekam jejak dan pemikiran.

2. Kampus sebagai wadah intelektual

Perguruan tinggi bukan hanya menjadi ruang transfer ilmu pengetahuan saja. Melainkan, menjadi wadah untuk menumbuh kembangkan budaya intelektual. Perguruan tinggi harus berperan aktif dalam menciptakan iklim intelektual yang baik di lingkungan kampus. Menjadikan kampus sebagai ruang intelektual bagi insan akademis yang ada di dalamnya. Proses pembangunan mentalitas mahasiswa dirasa saangat penting karena ruhperguruan tinggi adalah mahasiswa. Perguruan tinggi harus memiliki tujuan jangka panjang bagi lulusannya, bukan hanya jangka pendek untuk bisa menyalurkan lulusannya pada pasar kerja. Lebih penting dari itu, perguruan tinggi harus menyiapkan tipe lulusan yang pejuang-pemikir maupun pemikir-pejuang. Seperti yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka “idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda” Dengan idealismenya, pemuda maupun mahasiswa dapat merubah tatanan masyarakat menjadi lebih baik lagi, mahasiswa harus visioner terhadap arah pembangunan bangsa, IPK bukan masa depanmu, masa depanmu adalah proses yang telah dilalui dengan usaha memperkaya khazanah keilmuan, membangun kembali budaya intelektual di Kampus, berkarya dan membuat tatanan masyarakat menjadi lebih baik lagi dengan keberadaan lulusan perguruan tinggi.

Menciptakan iklim intelektual yang baik bukan perkara yang mudah di era seperti sekarang ini, pasalnya ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi iklim intelektual di Kampus. Kendala internal dan kendala eksternal selalu mengahantui para mahasiswa. Narasi yang dibangun pertama kali oleh kampus yang sudah terdistorsi bahwa setelah lulus para mahasiswa dijanjikan dengan bebagai tawaran kerja yang nyaman, hidup yang sejahtera dengan modal label sarjana serta modal IPKnya. Hal yang demikian yang mengkonstruksi pemikiran awal mahasiswa bahwa Mereka adalah kaum yang memiliki kelas sosial tinggi yang nantinya akan siap bersaing didunia kerja, itu pun belum bisa menjadi jaminan mutlak. Perguruan tinggi (kampus) harus memberi sentuhan yang baik kepada mahasiswanya untuk mengetahui minat dan bakat para mahasiswa, bukan hanya sibuk memonitor angka-angka IPK mahasiswa saja. Kampus harus pro aktif terhadap soft skill yang dimiliki mahasiswa di luar disiplin ilmu yang sedang ditekuninya, dengan begitu mahasiswa merasa dilibatkan dalam proses pembentukan mental dan karakter serta dapat memaksimalkan nalar dan logikanya.

 

Source : https://www.kompasiana.com/arfasanca/5c9ae2da95760e18242e6522/mimbar-akademik-dan-budaya-intelektual-yang-semakin-terkikis