Selamat pagi diriku,
Bagaimana suasana hatimu saat ini?
Aku harap kamu sedang dalam kondisi baik dan siap menghadapi hari.
Surat pendek ini sengaja kutuliskan untukmu sebagai bahan refleksi atas masa lalu. Pun agar kamu bisa memaafkan segala kesalahan yang pernah dibuat oleh raga ini. Kita ini adalah manusia, cukup wajar rasanya jika satu-dua kali salah pernah tercipta. Kamu tentu tahu justru inilah ladang kita untuk belajar. Sekaligus pelecut supaya kita tegar menatap masa depan dengan gagah berani.
Kita pernah berbuat salah. Kita pernah menyakiti mereka yang menyayangi kita, menutup pintu untuk kasih tulus mereka. Kita pernah menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan berikan. Kita bahkan pernah berbohong karena tak tahu apa lagi yang bisa dilakukan. Sampai sekarang, perbuatan itu masih meninggalkan rasa pahit di lidah dan rasa bersalah. Meski orang lain sudah memaafkan, diri ini masih berusaha mengikhlaskan.
Maukah kamu belajar lebih keras untuk memaafkan kesalahan lampau yang telah kamu perbuat? Agar hati ini kembali memiliki ruang lapang dan siap untuk berjuang.
Banyak kealpaan yang pernah kamu perbuat sebagai pribadi yang tidak sempurna. Baik yang sengaja, maupun yang tak disengaja
Entah sudah berapa kesalahan yang pernah kamu cipta sejak pertama kali kamu menjejak dunia. Ya, bentuk kesalahan yang sengaja maupun tak sengaja kamu lakukan pasti ada banyak jumlahnya. Aku paham bahwa sebenar-benarnya manusia pasti wajar bila kita pernah melakukan salah. Namun, maukah kamu sekali ini merenungi kealpaanmu secara lebih mendalam? Kesalahan yang mungkin tanpa disadari berhasil menggurat luka di hati sendiri maupun hati milik manusia lainnya.
Sudah berapa usiamu ketika membaca surat ini? Ah, aku tahu, pasti ketika tengah menginjak kepala dua. Tepat sekali rasanya surat ini kamu baca sekarang. Usiamu saat ini adalah masa dimana kamu sedang gemar-gemarnya bertekuk lutut pada ego. Masih berjiwa muda dan haus tantangan kamu jadikan alasan sehingga seringnya merasa paling benar dan enggan membuka telinga pada perkataan orang tua. Apakah kamu merasa apa yang kamu lakukan itu adalah tindakan yang benar? Apakah kamu pernah memposisikan diri sebagai orangtua yang perkataannya sering kamu tentang pun enggan kamu dengar?
Seharusnya kamu paham bahwa perbuatanmu itu sama saja menabur benih luka di hati milik ayah dan ibumu.
Gurat kecewa pernah sengaja kamu torehkan dalam hati mereka yang tulus menyayangi. Kamu lebih percaya pada orang yang salah, mengabaikan kata nurani
Tak hanya menggurat kecewa pada hati milik manusia lain, kamu pun kerap merajahkan luka pada hati kecil sendiri. Ada banyak manusia yang pernah hadir di kehidupanmu. Ketika mereka mengetuk masuk dan hati kecilmu tak mengizinkan, kamu berkeras untuk membiarkan mereka singgah. Membuatmu terus menerus ditebas rasa sakit karena menjalin cinta dengan orang yang salah.
Ah, jika sudah begini kamu hanya bisa terus menerus meratap, menyalahkan keadaan, bahkan jika mungkin kamu akan menyalahkan Tuhan. Sungguh konyol rasanya ketika kamu sibuk mencari kambing hitam atas sakit yang sengaja kamu ciptakan.
Kamu pun tak mencoba berpikir untuk diri sendiri. Dalam pengambilan keputusan, kamu memilih ikut teman. Bahkan ketika hati kecilmu berseberangan dan berteriak ‘Tidak!’ dengan lantang
Gurat luka yang kamu torehkan pada diri sendiri tak hanya karena berkeras untuk menjalin cinta dengan orang yang tak tepat. Namun, kamu kembali meragukan nurani dalam setiap pengambilan keputusan besar. Bisikan hati kecilmu tak pernah betul-betul kamu dengar hingga seringnya kamu terbelit keraguan. Pada akhirnya, kamu lebih gemar ikut-ikutan teman karena hal itu dianggap paling nyaman.
Tak hanya satu dua kali kamu salah langkah hanya karena mengikuti perkataan orang. Kamu bahkan pernah jatuh begitu dalam hanya karena lebih memberatkan bisikan teman daripada nurani yang sudah berseru dengan sangat lantang. Seharusnya, tak ada yang boleh lebih kamu percayai selain diri sendiri. Mengikuti kata teman tak berarti selalu aman. Justru hati kecilmulah yang akan selalu melontarkan kejujuran dan bisa dijadikan pegangan.
Atas segala salah yang pernah tercipta, ku ucapkan terimakasih padamu. Dari sanalah aku banyak belajar bahwa aku masih jauh dari istimewa
Sungguh, aku tak bermaksud menyudutkanmu atau bahkan memadamkan api semangat yang sekarang sedang berpendar di dalam jiwamu. Justru lewat surat ini aku tak hanya mengungkit salah yang kamu lakukan, aku juga ingin berterimakasih padamu atas salah yang pernah tercipta. Kesalahan yang pernah kamu tebar merupakan ladang pembelajaran. Di sanalah aku dan kamu tumbuh dewasa bersama.
Menyadarkan kembali bahwa kita bukan manusia sempurna sehingga harus sering memperbaiki diri. Penyesalan yang terlambat hadir selalu sukses menjalankan perannya sebagai cambuk pengingat sekaligus pengendali. Sungguh, tak perlu lagi menyesali apa yang pernah terjadi. Yang sekarang perlu kita lakukan hanyalah memaafkan diri supaya bisa menghadapi dunia dengan lebih berani.
Rute yang akan kita lalui masih panjang, kini saatnya kita berhenti menyesali kesalahan. Berjanjilah kita akan bangkit berjuang!
Tak guna rasanya jika melongok kembali salah yang pernah diperbuat diri. Sekarang yang harus kita lakukan hanyalah berjuang hingga habis daya demi masa depan. Kita punya waktu untuk memperbaiki diri sehingga bisa meminimalkan salah yang terjadi. Bersediakah kamu memaafkan kesalahan diri yang telah lalu dan berjanji untuk bangkit berjuang?
Karena aku benar-benar menaruh harap padamu, semoga diriku ini siap menapaki masa depan dengan hati lapang dan tidak ada beban dari masa lalu yang turut terbawa serta.
Leave A Comment
You must be logged in to post a comment.