Perkembangan zaman tentunya menuntut kita untuk berpikiran modern. Tanda modernitas sebuah negara adalah kemajuan, dapat berupa kemajuan dalam teknologi maupun kemajuan dalam ekonomi, yang saat ini merupakan salah satu tolok ukur peradaban. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya salah, mengingat peran teknologi dan ekonomi dalam kemajuan masyarakat memang mempunyai arti yang signifikan.
Internet contohnya, dapat kita rasakan langsung bagaimana teknologi dapat mempengaruhi suatu kualitas hidup dari masyarakat terlepas dari dampak negatif yang ditimbulkannya, walaupun secara teoritis disebabkan karena masyarakat sendiri yang belum dapat meletakkan teknologi sesuai dengan kegunaannya.
Sistem keuangan modern juga tak kalah penting dalam memberikan kontribusi bagi pertumbuhan suatu negara, maka tak jarang jika sekarang pertumbuhan suatu negara selalu diukur dari pertumbuhan ekonominya.
Teknologi dan ekonomi, sekali lagi juga mengenalkan kita pandangan baru yaitu konsep negara maju dan negara berkembang -kalau tidak mau disebut terbelakang- atau negara dunia ketiga.
Dengan konsep yang mengatasnamakan kemajuan ini, banyak negara-negara yang menerima predikat ‘negara berkembang’ yang tentu saja disematkan oleh ‘negara maju’ sebagai pemegang hak paten atas konsep tersebut.
Sehingga demi prestise disebut sebagai ‘negara maju’, banyak dari negara-negara ini secara terus menerus mencari kiblat kemajuan ala negara-negara maju di Eropa.
Sebenarnya dalam jangka pendek tidak ada masalah. Toh perbaikan memang diperlukan dan salah satu cara mewujudkannya adalah dengan sikap keterbukaan dari dunia luar.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, proses pencarian kiblat dari dunia luar ini seringkali mengakibatkan tercerabutnya akar identitas sebuah bangsa dalam jangka panjang.
Inilah yang menyebabkan banyak negara berkembang mengalami krisis identitas.
Kebingungan pun melanda generasi sekarang yang memang secara rentang waktu sudah sangat terpisah jauh dari akar identitas bangsanya sendiri. Sedangkan di saat yang sama, generasi tersebut terseok-seok mengejar kiblat yang selama ini diikuti oleh pendahulunya mengingat negara-negara Eropa sendiri bergerak maju terus menerus sedemikian rupa.
Sehingga tidak ada pilihan lain selain selalu tertinggal dan tertinggal.
Tapi tidak ada kata terlambat, kata pepatah lama.
Kecinderungan generasi muda sekarang yang mulai tertarik terhadap sejarah bangsa merupakan suatu cerminan sekaligus harapan bahwa di dalam kesulitan mereka mengejar kemajuan Eropa yang tidak kunjung juga memberikan suatu kepastian itu, mereka tidak lupa serta berusaha menggali kembali khasanah dan warisan kebudayaan yang ditinggalkan oleh nenek moyang.
Penggalian khasanah tersebut tidak pernah bermaksud untuk mengembalikan kejayaan masa lampau dengan cara membentuk kembali sistem pemerintahan kerajaan yang secara jelas sudah tidak kompatibel dengan perkembangan jaman. Namun, sebagai batu pijakan bagaimana bersikap secara bijaksana khas bangsa kita menghadapi berbagai macam perubahan yang ditawarkan Eropa.
Banyak dari kalangan generasi muda mulai tertarik untuk mempelajari sejarah karena mereka menganggap dulu nenek moyang mereka telah sukses menciptakan sebuah peradaban yang besar. Pendapat mereka memang tidak dapat dipersalahkan karena sebuah peradaban yang besar akan terlihat dari karya sastranya.
Hal tersebut sangatlah logis. Satu satunya kondisi dimana sastra lahir adalah kondisi damai tanpa adanya peperangan, mengingat akan sangat susah tentunya menulis sambil mengendarai kuda dan mengayunkan pedang.
Di negara kita ini, jumlah karya sastra klasik maupun kuno sangatlah banyak meskipun penulis karya-karya ini banyak yang didiskreditkan karena tidak mempunyai sanad keilmuan sebagaimana standar Arab dan isinya tidak memiliki muatan fakta-fakta yang dapat dibuktikan secara empiris seperti standar Barat.
Untungnya, kita sudah terbiasa sepakat bahwa memang ada kebenaran yang tidak bisa dibuktikan.
Pencarian generasi muda terhadap sejarah bangsanya sendiri merupakan simbol yang melambangkan pencarian terhadap kebenaran itu sendiri.
Sikap kritis terhadap sejarah bangsa kita menurut literatur Eropa -mengingat kita pernah dijajah- tentunya merupakan suatu langkah yang layak diapresiasi.
Karena bukan tidak mungkin selama periode penjajahan tersebut terdapat manipulasi sejarah mengingat sejarah ditulis oleh yang memenangkan peperangan. Sejalan dengan perkataan Goerge Orwell, “Siapa yang mengendalikan masa kini, mengendalikan masa lalu. Siapa yang mengendalikan masa lalu, mengendalikan masa depan.” Seorang sastrawan Inggris penulis novel satire berjudul ‘1984’ yang terkenal itu.
Maka sejarah memegang peranan penting dalam membentuk suatu masa depan suatu bangsa.
Keinginan untuk mempelajari sejarah merupakan modal awal yang tepat bagi generasi muda untuk menentukan bagaimana masa depan bangsanya. Dan sudah tentu, Bung Karno dengan ‘1966’ nya telah mengingatkan kita mengenai hal ini melalui ungkapan ‘JASMERAH : Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah’ yang fenomenal itu.
Leave A Comment
You must be logged in to post a comment.