Ideologi Pancasila mempunyai daya kekuatan yang menggerakkan mahasiswa agar menjalankan tindakan-tindakan riil dalam kehidupan sendiri sesuai dengan aspirasi nilai-nilai yang dikandungnya. Tindakan-tindakan pada dasarnya merupakan langkah pembebasan bangsa dari berbagai bentuk penjajahan, penindasan, kekerasan, dan dominasi.

Berkaitan dengan hal itu, harus disadari bahwa kita pun sekarang ini hidup dalam zaman milenial. Berkat kemajuan  iptek, informasi,  dan media komunikasi, segala sesuatu bisa dikerjakan dengan cepat dan mudah. Ini berarti kalau tidak hati-hati karena tidak mampu bertahan karena kepribadian yang lemah, orang akan terombang-ambing oleh pengaruh arus global yang tentu saja membawa kepentingannya sendiri. Paling tidak ada empat dampak negatifnya dari perkembangan teknologi — Digital – dewasa ini seperti[1]: Pertama, Individualis. Vincent Miller melalui tulisannya berjudul Social Media and the Problem of Community menyatakan, pola komunikasi bergeser seiring dengan perkembangan digital. Baginya, tingkat pertemuan langsung (tatap muka) berkurang sehingga memicu manusia untuk semakin individual. Kedua, Temperamen. Meningkatnya penggunaan gadget dan teknologi membuat koneksi dan aktivitas sosial nyata berkurang, sehingga memberikan dampak serius akan perkembangan psikologis, terutama anak-anak – remaja. 

            Ketiga, Bersuara Tanpa Tanggung Jawab. Perkembangan dunia digital membuat banyak orang lebih berani bersuara melalui media sosial. Sayangnya, hal ini tidak diiringi tanggung jawab, sehingga memicu terjadinya cyber bullying. Keempat, Tak Menikmati Hidup. Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Anda tentu tak asing dengan istilah ini. Aktivitas di gadget seolah menjadi lebih menarik ketimbang peristiwa yang terjadi di saat tersebut. Hal ini membuat Anda kurang menikmati hidup yang sedang berlangsung. Maka, untuk menanggapi persoalan di atas kehadiran dunia filsafat sangat relevan dan penting.

Proses zaman milenial yang menimbulkan tantangan dan ancaman bagi bangsa Indonesia dewasa ini adalah desakan konsumerisme yang melanda kehidupan bangsa. Zaman milenial ini membawa mahasiswa dapat menyaksikan gedung-gedung menjulang dan hotel-hotel yang mewah untuk dihuni dan dikunjungi. Zaman milenial juga mendorong mereka untuk mengagumi iklan-iklan di layar TV serta pertunjukan-pertunjukan menarik melalui multimedia.[3] Itu semua tidak sekadar menawarkan komoditas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi juga secara halus mendesakkan, bahkan memaksakan semuanya menjadi seakan-akan merupakan kebutuhan riil yang sebenarnya. Dengan demikian, mahasiswa membeli gengsi dengan makan di restoran dan mal-mal tersebut. Ini berarti bahwa mahasiswa menjalani kehidupan yang semu  karena tidak hanya keputusan pribadi yang otentik dalam menentukannya, tetapi status yang dibentuk oleh faktor pengaruh dari luar melalui iklan dan tayangan yang tiada berkesudahan dan menjadi ukuran semu pula. Dengan demikian, mahasiswa tidak menyadari telah dikelabui oleh desakan serta pengaruh iklan dan media massa tersebut sehingga konsekuensinya membuat mahasiswa makin konsumtif walaupun mahasiswa pada dasarnya memang konsumtif pasif dan tidak mampu memproduksi bahan-bahan kebutuhannya sendiri. Ancaman konsumerisme ini terletak dalam kenyataan bahwa kekuatan-kekuatan perusahaan ekonomi merupakan pemegang kekuatan global yang mampu menjadikan konsumerisme sebagai alat untuk mendatangkan keuntungan dengan mengeksploitasi kondisi bangsa-bangsa miskin yang bergantung kepada kekuatan-kekuatan ekonomi global tersebut. Dengan kata lain, konsumerisme menjadi alat untuk mempertahankan dominasi kekuatan ekonomi global terhadap bangsa-bangsa yang menderita itu. 

Michael brake (1985) menawarkan beberapa pilihan untuk menjadi kaum muda kepada mahasiswa  milenial yakni generasi muda yang terhormat, yang melakukan pelanggaran norma, pemberontakan-pemberontakan kebudayaan atau generasi muda yang militant secara politik.[4] Dari pilihan-pilihan ini, semua berharap bahwa mahasiswa milenial memilih yang terbaik yaitu mau menjadi generasi muda yang terhormat.Oleh karena itu, agar mahasiswa dapat hidup bebas sesuai dengan jati diri serta hidup otentik, sepatutnya bangsa Indonesia bangkit dari keterpurukannya. Mahasiswa sebagai penerus bangsa benar-benar menjadi pribadi yang memiliki ciri khas kuat, unisitas. Jika ada sepuluh manusia berkumpul, di sana ada sepuluh pribadi yang berbeda yang sedang menyatukan diri membangun suatu kekuatan.[5] Bangun artinya menggalang kekuatan untuk mencegah konsumerisme dan ketergantungan tersebut dengan membuat bangsa berorientasi kepada kerja yang produktif. 

Kerja produktif tidak sekadar meneruskan cara kerja masyarakat secara tradisional, tetapi juga meningkatkan kualitas kerja yang rasional. Ini berarti menumbuhkan etos kerja yang menjadi andalan mahasiswa produktif. Melalui proses itu, bangsa Indonesia akan menghargai hasil karyanya sendiri dan mempunyai percaya diri karena etos kerja adalah wujud yang mencerminkan perkembangan dan peningkatan harkat bangsa sebagai manusia. Dengan meninggalkan bentuk kehidupan yang palsu dan semu itu, bangsa Indonesia akan kembali sebagai bangsa yang sadar akan harkatnya sendiri untuk mampu bersaing. Namun, semua itu adalah suatu tekad dan satu niat yang penting. Untuk itu, ada tantangan berat yang harus diatasi terlebih dahulu, yaitu menghadapi ancaman oportunisme karena secara kultural paham itu merupakan akar keterpurukan bangsa dewasa ini.

Sikap oportunistik yang sudah merambah ke mentalitas mahasiswa Indonesia berakibat melemahkan daya ketahanan bangsa dari dalam, membuyarkan rasa komitmen nasional, merenggangkan solidaritas terhadap sesama warga, dan, dengan demikian, membiarkan kesatuan dan keutuhan bangsa sebagai formalitas belaka. Itu semua terjadi karena diawali dengan anggapan yang tidak memperhatikan dan bahkan mengingkari prinsip-prinsip sebagai norma hidup yang harus ditaati, dengan menyatakan bahwa setiap perbuatan adalah baik selama berguna bagi seseorang dan bermanfaat bagi pencapaian kepentingan pribadinya. pada dasarnya tidak ada nilai-nilai dasar, termasuk nilai-nilai Pancasila yang wajib diterima untuk mengatur kehidupan secara normatif.

Jelaslah sikap yang pragmatis itu membuka lebar-lebar merajalelanya nafsu serakah di segala bidang. Dengan memprioritaskan nafsu keserakahan itu dalam perilaku serta peri kehidupan, timbul anggapan bahwa tujuan menghalalkan segala cara, tiada nilai-nilai moral sebagai pedoman hidup, dan tiada hati nurani diindahkan lagi karena kesadaran moral sudah tumpul dan bahkan punah. Kondisi oportunistik semacam itu mendorong seseorang untuk bertindak tidak jujur, tidak adil, dan bahkan bertindak semena-mena dengan menyalahgunakan wewenang, menjalankan KKN, dan tidak segan-segan menjalankan kekerasan dan kriminalitas.

Disposisi mental seperti itu membuat seseorang mudah berbohong, munafik, sanggup berkhianat terhadap rekan sahabatnya, hingga tega menjual bangsa dan tanah airnya. Pada kenyataannya ia kehilangan martabat serta harga diri sebagai manusia. Meskipun dikelilingi oleh kekayaan serta jabatan berlimpah, ia tetap bukan lagi manusia yang sebenarnya. Itulah bahaya oportunisme yang dapat menyebabkan bangsa dan negara terpuruk sampai ke titik yang rendah hanya karena ulah elite masyarakat, elite politik, dan elite kepemimpinan bangsa tertentu yang tenggelam dalam kubangan oportunistik.   Perlu disadari bahwa kondisi oportunistik ini memberi peluang yang makin besar bagi dominasi kelompok kepentingan global terhadap kelompok bangsa-bangsa yang miskin, menderita, dan tersingkir.

Oleh sebab itu, kalau kita ingin mengatasi keterpurukan bangsa dan berhasil membangun bangsa seutuhnya, kita perlu mengusahakan peningkatan ketahanan budaya bangsa dan mengintegrasikannya dengan bentuk-bentuk ketahanan di bidang lainnya melalui tindakan-tindakan komunikatif  dalam praksis sebagai wujud kenyataan riil yang berinspirasikan pengetahuan dan kehendak emansipatoris.

 Fragmentasi ketahanan bangsa dalam setiap bidang kehidupan berakibat fragmentasi pula dalam keberhasilan pembangunan. Mahasiswa sebagai penerus bangsa bisa merangkaikan keadilan sebagai sebuah simfoni. Keadilan sebagai sebuah simfoni mengatakan kebenaran bahwa tata hidup bersama itu bagai orkestra. Ketika sistem layanan publik berjalan dengan baik dan harmonis, saat itu terdapat keindahan dalam tatanan.  Adil menegaskan kebenaran bagaimana sistem hidup bersama harus ditata sedemikian rupa. “Tatanan disebut adil, ketika kehidupan dan keluhuran martabat setiap manusia dibela dan dimuliakan.”[6]

Adapun pembentukan ketahanan budaya berarti menjalankan reorientasi semangat dan cita-cita moral Pembukaan UUD 1945 yang intinya memperjuangkan pembebasan bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Marcuse berpendapat bahwa pembebasan manusia dan eros yang telah terpungkir akibat dominasi nalar dan perinsip realitas, ternyata mungkin dilaksanakan. [7]

Justru karena itu kita hidup pada zaman global ketika masalah dan tantangan baru harus direinterpretasi dengan tepat sehingga bisa ditemukan arahan kebijakan-kebijakan nasional secara benar dan relevan. Pembebasan adalah proses usaha melepaskan diri dari berbagai dominasi dan ketergantungan menuju pembentukan sikap yang mencerminkan jati diri bangsa serta hidup bersama dalam interdependensi yang sehat. 

Kemudian semua cita-cita yang menjadi idealitas semata  dapat diaktualisasikan kalau penerus bangsa ini sungguh-sungguh berkerja. Armada riyanto menjelaskan kerja sebagai berikut :

“kerja tidak hanya sebuah aktivitas yang memroduksi sesuatu atau menghasilkan uang. Kerja adalah cetusan dari martbat manusia karena manusia adalah mahluk pekerja (Homo Faber). Artinya bahwa hakikat seorang manusia dapat dikenal dari apa yang dikerjakan dan dihasilkannya. Kerja adalah aktualisasi diri manusia. Dalam bekerja manusia mengkomunikasikan siapa dirinya. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh “George Lukacs bahwa ketika manusia bekerja, ia tidak hanya menghasilkan sesuatu melainkan ia sedang mengkomunikasikan dirinya.”[8]

Selanjutnya, agar bisa dilakukan tindakan-tindakan serta langkah-langkah konkret secara bersama sebagai cerminan hasil dialog dan komunikasi, perlu diusahakan kembali, terutama di daerah masing-masing, tumbuhnya ranah publik yaitu suatu arena tempat komunikasi dan diskusi terbuka diselenggarakan secara teratur di antara berbagai unsur kekuatan sebagai kontrol sosial, seperti organisasi masyarakat, pers dan media massa, lembaga studi dan penelitian, dan perguruan tinggi untuk mencapai kesepakatan bersama sebagai wujud usaha pembebasan bangsa dari keterpurukannya.

Pada akhirnya  pancasila membuat  mahasiswa milenial sebagai penerus bangsa menjadi pribadi yang bermartabat. Kemudian politik dan kesepakatan bangsa yang dibuat oleh generasi muda ini benar-benar mengabdi kepada manusia. tata kehidupan bersama harus dikembalikan kepada penghormatan martabat manusia.[9]

Sumber : https://www.kompasiana.com/kardymanfour/5e99c32cd541df412f40f8d2/tantangan-mengaktualisasikan-pancasila-bagi-mahasiswa-millenial