Lima bulan sejak Covid-19 menjadi isu global, saat ini kita dihadapkan pada keharusan untuk beradaptasi dengan cara hidup baru. ‘New normal‘ adalah strategi dalam merespon perubahan jangka pendek, namun memiliki implikasi jangka panjang.

Berbagai negara menyiapkannya sebagai bagian exit strategy sambil menunggu ilmu pengetahuan menemukan vaksin untuk pencegahan virus SARS-CoV-2. Tentu saja sambil tetap melakukan strategi utama berupa test, tracing, treat, dan isolate. Adaptasi menuju ‘new normal’ merupakan langkah logis ketika kita sudah memilih untuk berdamai dengan virus alih-alih berperang melawannya.

Bentuk perilaku baru ini sudah nampak di berbagai ruang publik. Pembatasan jarak, pengecekan suhu tubuh dan protokol cuci tangan sebelum masuk area umum, penggunaan masker, hingga pertemuan dan kepentingan yang dilaksanakan secara online. Titik fokusnya sama: ini adalah upaya bersama menjaga kesehatan diri dan komunitas.

Menjalani hidup dengan ukuran normal yang baru sebenarnya bukan hal asing dalam kehidupan manusia. Ketika seseorang mengalami trauma kehilangan yang sangat mendalam misalnya, ia akan menjalani fase hidup selanjutnya dipenuhi dengan perasaan kesepian, hampa, kekurangan kasih sayang, perubahan pola makan dan tidur, hingga mungkin caranya berelasi sosial. 

Richard Gross dalam bukunya The Psychology of Grief menggunakan kerangka psychosocial transition theory (PSTT) dalam menjelaskan kondisi ini.

Ia menuliskan ketika seseorang kehilangan orang lain yang sangat ia cintai, segala sesuatu yang sebelumnya dianggap ‘hak hidupnya’ (dan dianggap sebagai sesuatu yang ‘normal’) menjadi barubah, sehingga dalam upayanya bertahan hidup ia harus merekonstruksi ulang ‘normal versi baru’nya. 

Misalnya, dalam bentuk pemaknaan ulang tentang kebahagiaan, keterlibatan dalam aktivitas sosial, atau nilai hidup yang lebih berorientasi pada kemanusiaan. Dalam versi pandemik ini, perbedaannya terletak pada skala perubahan itu.

‘New normal’ yang saat ini kita hadapi seharusnya adalah bentuk kesadaran kolektif, bukan lagi pengalaman personal. Oleh karenanya, pola kehidupan baru serta efek dominonya seharusnya juga terlihat pada berbagai aspek kehidupan. Pertanyaan yang kemudian muncul: sebenarnya sejauh mana kesiapan kita merespons ‘new normal’?

Sebuah online study dirilis Kantar Indonesia bulan april lalu menunjukkan dimana posisi kita saat ini. Masyarakat Indonesia secara umum akan berada pada tahapan Adjusting — Adopting – Aligning.

Di tahap adjusting, pengaruhnya terlihat pada perilaku keseharian seperti penyesuaian waktu kerja, transisi berbelanja dari model tradisional ke sistem online, lebih banyak memasak di rumah. Pada tahap adopting, masyarakat mulai merencanakan keuangan dengan lebih teliti khususnya untuk penggunaan jangka panjang. 

Sementara pada tahap aligning dimana masyarakat sudah membentuk cara baru dalam pengelolaan hidup, belum terlihat ada perubahan yang signifikan dalam masyarakat. 

Hal ini dimungkinkan dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat Indonesia bahwa pandemic Covid-19 akan berakhir dalam 3 bulan ke depan. Dibandingkan negara tetangga, Indonesia dan Malaysia menunjukkan sentiment positif paling tinggi di linimasa media sosial ketika membahas tentang COVID.

Hasil survey ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran kita untuk merekonstruksi ‘new normal‘ ke dalam langkah konkrit karena didorong perasaan bahwa semua yang terjadi saat ini bersifat temporer. Padahal faktanya, hingga saat ini flattening the curve belum terjadi di Indonesia. 

Relaksasi kebijakan bukan berarti kita siap ke kondisi ‘normal’ sebelumnya. Beberapa negara bahkan tengah menyiapkan diri apabila gelombang kedua Covid-19 terjadi. Korea Selatan, China, Jerman telah membangun infrastruktur pengawasan sebagai langkah antisipatif. 

Nampaknya, Korea Selatan juga berkaca dari pengalaman di tahun 2005 ketika wabah MERS terjadi di negaranya. Saat itu mereka membangun pusat kesehatan mental khusus bagi penyakit menular karena melihat krisis kesehatan mental terjadi di masa karantina virus MERS. Langkah itu terbukti efektif menanggulangi kasus kesehatan mental pasca outbreaks MERS khususnya di kalangan tenaga medis dan pasien atau keluarga terdampak.

Lalu, dari mana kita bisa bersiap? Langkah rekonstruksi ‘new normal’ bisa kita mulai dari merubah mindset tentang status pandemik ini. Alih-alih melihatnya hanya sebagai ancaman, kita juga bisa memilih untuk melihatnya sebagai peluang.

Carol Dweck, seorang Psikolog dari Standford University, membagi mindset ke dalam dua jenis: Fixed vs Growth. Fixed mindset berasumsi bahwa karakter, kecerdasan, potensi kreativitas memiliki sifat tetap dan tidak dapat diubah. Para pemilik fixed mindset percaya bahwa kualitas-kualitas tersebut sulit diupayakan.

Mereka selalu mengejar kesuksesan mutlak dan sangat menghindari kegagalan. Sebaliknya, growth mindset selalu berupaya mencari tantangan, melihat kegagalan sebagai peluang untuk tumbuh dan memperluas kemampuan. Mereka bersemangat dalam proses hidupnya karena didorong rasa ingin tahu alih-alih untuk mencapai penghargaan orang lain.

Peluang tidak pernah berasal dari tempat yang nyaman. Memiliki mentalitas growth membantu melihat masalah dan alternatif pemecahannya sekaligus. Orang-orang semacam ini ada di sekitar kita: para penunggang ombak, pembelajar yang lahir dari situasi sulit. Kita tidak akan kesulitan menemukan kisah-kisahnya karena energi mereka sulit diabaikan.

Pandemik ini membawa banyak masalah, tentu saja. Kehilangan pekerjaan, kehidupan yang terenggut mendadak, keterbatasan ruang gerak. Namun setiap hari kita juga tidak kekurangan kisah-kisah inspiratif yang memberi arti pada standar ‘new normal’. 

Para pedagang toko tradisional yang meningkat dengan sistem online, penggiat life-style yang memperluas areanya ke gaya hidup sehat, para pengajar yang menemukan cara-cara unik untuk menyapa anak didiknya. Kuncinya ada pada optimisme dan pesimisme: melihat mana yang mampu diubah dan tidak dapat diubah, lalu pilihan kita untuk fokus pada yang mana?.

Jika kita sudah bisa menemukan percikan mentalitas itu ada, berikutnya integrasikan pada perspektif yang lebih luas. Apa skill baru yang ingin dipelajari? Perilaku baru apa yang diperlukan?

Sebagai ilustrasi, dengan meningkatnya peluang model pertemuan online saat ini, berarti kita perlu terbuka pada berbagai platform teknologi, harus lebih menaruh perhatian pada faktor keamanan, dan mengadaptasi cara-cara baru berkomunikasi jarak jauh dengan layak.

Integrasi pada perspektif lebih luas artinya kita bersedia melihatnya sebagai rencana jangka panjang, sambil melibatkannya pada rencana jangka pendek. Ini bukan lagi hanya soal seni bertahan hidup, tapi bagaimana menjadikan hidup menemukan lagi ritme dan maknanya.

Kepasrahan tidak akan membentuk ‘new normal‘ dalam versi yang lebih baik, tetapi pilihan kitalah yang akan menentukannya. Apakah manusia akan mampu mengisi kebutuhannya, bukan hanya kebutuhan di masa pandemik? Akankah ilmu pengetahuan akan mendorong manusia mengubah perilakunya?

Apakah sifat-sifat kemanusiaan dan solidaritas akan bertahan? Apakah kita akan membiarkan teknologi membantu pekerjaan kita dengan baik? Apakah skala prioritas dalam menempatkan faktor Kesehatan akan berubah?

Apakah kita akhirnya mau mengontrol superioritas kita pada planet bumi? Apakah masyarakat akan berhenti dari fokus obsesifnya pada kebutuhan material dan segera mensederhanakan kebahagiaan?

Virus ini menunggu jawabannya, dan kitalah yang akan membuat keputusan itu.

Ega Asnatasia Maharani- Psikolog, Dosen FKIP UAD Yogyakarta

Sumber : https://www.kompasiana.com/egaasnatasiamaharani0173/5ebe0f8dd541df03c65d09d2/beradaptasi-pada-versi-terbaik-new-normal