Apatis atau apatisme, Kita sering mendengar kata tersebut dan kita sendiri sepertinya sering  melihat akan sikap atau perilaku tersebut. Tapi sebenarnya apasih apatis itu? Dan apa dampak yang ditimbulkan dari sikap apatis? Lalu bagaimana kita menyikapi sikap apatis tersebut?

Menurut KBBI apatis memiliki arti acuh tidak acuh; tidak peduli; masa bodoh. Sehingga apatis dapat juga dipahami sebagai suatu sikap tidak peduli dengan segala hal yang terjadi di sekitarnya maupun  dalam lingkup yang lebih luas. Karena itu, seseorang yang memiliki sikap ini lebih cenderung asik atau menikmati dunianya sendiri sehingga ia tidak peduli terhadap di sekitarnya. Menurut Solmitz (dalam Jurnal Zania Oktasari, 2019), “Apatisme adalah ketidakpedulian individu dimana seseorang tidak memiliki minat atau tidak adanya perhatian terhadap aspek-aspek tertentu seperti kehidupan sosial maupun aspek fisik dan emosional.”

Lalu, apakah ada seorang yang memiliki sikap apatis di negeri ini? Jawabannya, ya tentu saja ada. Seperti pendapat M. Dimas Saputro dalam kegiatan Pelatihan Karya Tulis Ilmiah yang diadakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat UNIS Tangerang pada tahun 2019, ia berpendapat bahwa : “Tanpa kita sadari kebanyakan orang lebih mementingkan diri sendiri tanpa melihat di sekelilingnya. Mungkin untuk sebagian orang, seseorang yang memiliki rasa apatis itu membuat resah atau bisa juga jengkel. Apatis itu termasuk orang-orang yang tidak memiliki motivasi dan juga tidak memiliki rasa kepedulian terhadap lingkungannya.”

Sikap apatis ini, tentu saja menimbulkan dampak yang kurang baik bagi sekitarnya. Seperti dapat kita lihat yang terjadi pada transportasi umum, seperti kereta; angkutan umum (angkot); dan juga bus. Contohnya, pengguna atau penumpang yaitu baik kereta, angkot, atau bus mereka ketika duduk bersikap apatis atau tidak peduli dengan lebih mementingkan dirinya sendiri, dengan alasan lelah setelah bekerja, sehingga ia tidak peduli dengan sekitarnya baik yang sedang berdiri itu seorang lansia, ibu hamil, penyandang disabillitas dsb. Seharusnya mereka-mereka inilah yang diprioritaskan untuk mendapatkan sebuah kenyamanan serta keamanan. Hal-hal semacam ini sering terjadi di jam-jam pulang kantor atau juga bisa terjadi di lingkungan kita sendiri, atau juga tanpa kita sadari terkadang diri kita pun masih memiliki sikap apatis terhadap sesuatu disekitar kita.

Zania Oktasari dalam jurnalnya yang berjudul “Menghindari Sikap Apatis Antar Individu Melalui Komunikasi Untuk Meningkatkan Hubungan Yang Baik Antar Individu” mengatakan : “Sikap apatis pada diri individu disebabkan oleh kurangnya komunikasi antar individu sehingga menyebabkan hubungan antar individu tidak berjalan dengan baik. Seseorang yang apatis dapat ditandai dengan hilangnya keinginan berpartisipasi aktif dalam menyikapi masalah yang dihadapi serta kurangnya keinginan atau motivasinya dalam berkomunikasi dan adanya sikap tidak peduli dengan lingkungan disekitarnya.” Dalam pendapat tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa sikap apatis ini muncul dari komunikasi yang tidak baik yang dialami oleh seseorang, selain itu adanya hal-hal yang membuat seseorang tersebut kecewa terhadap keadaan di sekitarnya, sehingga yang muncul dibenaknya “percuma dibilangin, nanti juga begitu lagi”. Dari sinilah, yang akhirnya membuat seseorang tersebut menjadi apatis.

Oleh karena itulah, perlu adanya komunikasi yang baik dengan pendekataan persuasif untuk menghindari sikap apatis dari setiap individu. Karena dengan pendekatan persuasif, kita dapat mengembalikan kepercayaan kepada individu yang memiliki sikap apatis sehingga ia lebih peka dan peduli terhadap segala sesuatu di sekitarnya.

 

Sumber :  https://www.kompasiana.com/ianhidayat/5f887f928ede4833492c6702/apatis-kok-bisa